PERDEBATAN BIDAH DALAM ISLAM


Perbedaan merupakan sebuah rahmat. Rahmat luar biasa yang Allah karuniakan ke dalam kehidupan manusia. Tanpa perbedaan, kehidupan itu terasa hambar dan kurang lengkap. Bahkan setiap manusia memiliki keistimewaan yang berbeda-beda. Subhanallah, Maha Suci Allah yang begitu teliti menciptakan kesempurnaan dalam sebuah kehidupan, ada yang baik, ada pula yang buruk, semua itu saling berkesinambungan sehingga menjadi satu elemen yang tidak mampu dipisahkan. Perbedaan itu benar-benar wujud, sehingga menjadi sebuah kodrat yang tidak mampu dihindari ataupun dipungkiri oleh akal manusia. Akan tetapi, dari perbedaan dalam kehidupan ini dapat muncul sebuah konflik, jika manusia itu sendiri tidak berhati-hati dalam menangani keberagamannya.
Dewasa ini, konflik tersebut lebih condong kepada keyakinan atau ideology seseorang. Misalnya banyaknya pertanyaan-pertanyaan sederhana yang muncul menyangkut kegiatan keagamaan, mengapa itu begini, mengapa itu begitu dan seterusnya sehingga terkadang akal manusia lupa memerintahkan tubuhnya untuk bertindak karena akal mereka sudah terpendam oleh ribuan tanda tanya tersebut.
Antara Islam dengan Arab
Masih ingatkah anda pada filosofi, “Ayam adalah ayam, tidak mungkin seekor ayam berubah menjadi burung. Sampai kapanpun ayam akan tetap pada kodratnya yaitu menjadi seekor ayam, begitu juga seekor burung”. Sama halnya dengan seorang muslim yang ditakdirkan dilahirkan di Tanah Jawa, Indonesia, maka seorang muslim itu sudah pasti adalah orang Jawa, bukan orang islam yang tinggal di Jawa. Ia tak perlu menginginkan menjadi orang Arab ataupun orang Barat, karena Allah telah memberikan nikmat yang senikmat-nikmatnya yang harus disyukurinya yaitu menjadi bagian dari tanah Jawa.
Tetapi, orang pada umumnya salah paham antara Islam dengan Arab. Benar halnya, bahasa yang digunakan di akhirat nanti adalah Arab, tetapi artian tersebut tidak mengharuskan bahwa Islam adalah Arab, karena semua yang terjadi di alam akhirat adalah otomatis dari Allah tidak direncanakan oleh manusia atau jin manapun. Terdapat persamaan juga perbedaan antara keduanya. Ada Islam yang menggunakan Arab, misalnya Shalat, membaca al-Quran dan seterusnya. Tetapi tidak sepenuhnya Islam adalah Arab, misalnya dalam urusan berdoa. Dalam berdoa, Islam tidak mengharuskan memakai bahasa Arab, menggunakan bahasa Jawa pun diperbolehkan asalkan pengucapannya sopan dan mantap di hati.
Dari perbedaan bahasa inilah islam berkembang, mencetuskan berbagai paham dan pendapat yang berbeda. Tapi pada intinya semuanya tergantung pada keyakinan masing-masing individu, bagaimana cara ia mampu mendekatkan diri kepada-Nya meskipun perbedaan itu sangan kentara dalam bermasyarakat.
Antara Sorban dengan Peci
Setiap mata ketika melihat seseorang yang memakai gamis dan sorban di kepalanya pasti takjub dan heran, sehingga akalnya menuju pada masa lalu yaitu cara berpakaiaan Rasulullah SAW, maka setiap kali mata bertemu dengan insan yang memakai yang demikian itu mengira bahwa ia adalah seorang Dai, ia adalah seorang Kyai bahkan seorang wali. Masih ingatkah anda bahwa selain Rasulullah, terdapat Abu Jahal yang juga memakai gamis dan sorban? Apakah ia juga disebut seorang waliyullah? 
Ya, itu lah yang dinamakan sebuah kultur budaya, budaya berpakaian di zaman Rasulullah adalah gamis dan sorban. Berbeda halnya di Jawa yang memakai sarung dan peci, biarlah aliran mana pun menyangkal bahwa peci dan sarung adalah bidah, biarkan saja karena bidah tidak hanya satu tetapi bermacam-macam.
Ada yang namanya bidah hasanah yaitu sebagai contohnya adalah sarung dan peci tadi. Teraweh yang dahulu saat zaman Rasulullah belum ada dan pada zaman Abu Bakar baru diadakan dengan manfaat yaitu untuk mengumpulkan seluruh umat islam agar berbondong-bondong mengikuti sunnah rosul dan memper-erat tali persaudaraan, yang kemudian dinamakan bidah mandubah.
Dan ada pula bidah wajibah yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu mushaf alQuran. Mushaf alQuran adalah bidah, karena sebelumnya tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, sebelum ini alQuran hanya terdapat pada seorang yang dhabid shadran (kuat hafalannya) dan dhabid kitabi yang hanya memiliki kemampuan menulis alQuran di tulang unta, kulit kurma, dan lain sebagainya. Mushaf adalah bidah karena baru dimulai pada zaman khalifah Abu Bakar atas usulan dari Umar Bin Khattab dan selesai pada masa Ustman Bin Affan yang kemudian sampai sekarang disebut dengan mushaf Usmani.
Dan yang terakhir adalah bidah sayyiah (bidah yang jelek) contohnya, sebuah paham yang membolehkan menggunakan bahasa Indonesia pengganti takbir dalam shalat. Dikatakan bidah sayyiah karena lafal takbir harus jelas yaitu Allahu Akbar tidak bisa diganti dengan bahasa manapun meskipun memiliki arti yang sama.
Semua yang ada di dunia ini kebanyakan adalah bidah, jangan sampai suatu perdebatan tertentu mengurangi keyakinan di dalam hati, karena dalam islam yang terpenting adalah hati kita yakin, dan prinsip kita mantap yaitu ridho kepada Allah SWT. Rasulullah selalu mencari kelebihan bahkan kebaikan dalam diri umatnya supaya umatnya memiliki keyakinan sehingga ikut masuk dalam surge-Nya Allah, karena itu pula banyak yang berbondong-bondong masuk ke agama Allah dengan kesungguhan dan kelembutan hatinya. Lalu mengapa sekarang sebaik-baiknya orang yang dicari justru kejelekannya? Sehingga membuat mereka sungkan hingga keluar dari agama Allah? Na’uzubillah… Nah, inilah mengapa banyak terjadi perpecahan dalam Islam. Padahal perbedaan itu adalah satu, satu yang saling menyatukan umat Islam satu sama lain.
Sekarang ini memang banyak pendapat mengenai hukum atau permasalahan dalam Islam. Tetapi, sebagai seorang muslim yang memiliki akal, kita harus tahu dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang pas dengan keyakinan kita, jangan karena kita NU, maka kita tidak mau mendengarkan Muhammadiyah, jangan karena kita Muhammadiyah, maka kita tidak mau mendengarkan Syiah dan seterusnya. Perbedaan itu adalah rahmat yang Allah karuniakan kepada kita semua agar lebih meningkatkan ketakwaan kita kepada-Nya.
Semua aliran adalah baik. Jika terdapat kesalahan, maka yang salah bukan alirannya, tetapi manusia yang berada di dalamnya, fatwa manusia yang mutlak benarnya hanyalah Rasulullah SAW, “Athiullaha, wa athiurrasul, waulilamri minkum”. Terdapat lafal Athiu sebelum lafal Allah dan Rasul, karena Athiu maksudnya adalah mutlak benarnya sehingga dibenarkan untuk ‘taat’, sedangkan sebelum lafal waulilamri tidak terdapat lafal Athiu. Artinya, Allah dan Rasulullah SAW adalah mutlak benarnya dan selain kedua itu mungkin salah mungkin juga benar. Sebagaimana yang terdapat dalam alQuran surat Az-Zumar ayat 18 yang artinya, “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Azzumar : 18)
Maksud dari ayat tersebut adalah mereka yang mau mendengarkan ajaran al-Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya adalah al-Quran, karena ia adalah yang paling benar. Maka sebaik-baik apapun fatwa manusia yang tergolong dalam aliran-aliran yang tersebar di seluruh dunia, jangan sampai lepas dari kedua unsur yaitu alQuran dan Sunnah Rasul-Nya, karena yang mutlak benarnya hanyalah Allah dan Rasul-Nya adapun manusia pada umumnya masih tergolong mugo-mugo atau semoga saja benar.
Sekali lagi perbedaan adalah sebuah rahmat yang perlu disadari betul wujudnya. Perbedaan dalam beragama, berpendapat, berfatwa, atau sebagainya itu harus didasari hanya untuk menambah keimanan kepada-Nya bukan untuk menyalahkan siapa yang salah atau membenarkan siapa yang benar, karena yang lebih tahu salah dan benarnya hanyalah Allah dan Rasul-Nya, kita hanya sebatas memiliki keyakinan sebagai berpedoman untuk melalui jalan yang diridhoi-Nya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERDEBATAN BIDAH DALAM ISLAM"