Cerpen menarik N. Mufidah
Sebuah kehidupan dimana tak seorangpun mengerti bagaimana arti yang
sesungguhnya dari kehidupan itu sendiri. Mereka menari-nari di istana dunia
yang mereka banggakan. Mereka berbincang-bincang menyanjung setiap apa-apa yang
telah dimiliki. Tak satupun yang mereka ketahui, seorang di antara mereka penuh
dengan angan yang tak terwujud. Penuh dengan keperihan yang menyiksa lubuk
hati.
“Mi, kalau besar nanti, kamu ingin jadi apa?” Tanya Ranida pada
sahabatnya.
“Pengennya sih jadi dokter. Tapi mau bagaimana lagi, kamu kan tahu
sendiri bagaimana keadaan orang tuaku.”
“Kamu yang sabar ya, Mi. kalau tekad dan kemauan kamu kuat untuk
meraih cita-cita. Aku yakin, kamu bisa mewujudkan impian kamu. Meskipun kondisi
ekonomi keluarga kamu tidak memungkinkan kamu untuk meraih semuanya itu,”
nasehat Ranida menenangkan hati Salmi yang tengah mengalami kegundahan.
Sejak orang tuanya mengalami musibah, ayahnya tak lagi dapat
bekerja seperti sedia kala. Ia sering menderita sakit tulang akibat kecelakaan
yang menimpanya sewaktu Salmi masih berusia 4 tahun. Dokter tak mampu
menyelamatkan nyawa Istrinya karena kehabisan darah. Salmi selamat karena tak
berada di tempat kejadian, ia dititipkan di rumah saudaranya ketika kejadian
na’as itu terjadi. Namun, ia juga harus kehilangan saudara kembar yang amat
disayanginya saat berada dalam gendongan sang Ibu. Kini keduanya hanya tinggal
nama yang terkenang dalam hati, serta wajahnya yang akan selalu mengingatkannya
pada Salma, saudara kembarnya.
“Mengapa bukan aku saja yang berada di mobil itu? Kenapa harus
kamu, Ma?” Tanya Salmi dengan ribuan penyesalan yang tak berujung.
Setiap kali ia melihat wajahnya, pasti air matanya merembes keluar.
Itulah mengapa ia jarang berlama-lama di depan kaca. Ia akan menangis dan
merasa bersalah dengan apa yang telah menimpa saudara kembarnya. Meskipun waktu
itu ia masih kecil. Tetapi, ia telah dapat merasakan kehilangan yang mendalam,
rasanya separuh jiwanya menghilang bersama kematian saudara kembarnya.
Keadaan yang membuat Salmi dewasa sebelum masanya. Ia hampir putus
sekolah untuk membantu ayahnya bekerja karena amat kasihan dengan keadaan
ayahnya yang sering sakit-sakitan. Ia takut menyusahkan ayahnya jika ia terus
saja bersekolah. Namun, ayahnya tetap bersikeras menginginkannya mengenyam pendidikan
yang layak. Ayahnya tau impian anaknya begitu tinggi. Apalagi Salmi tergolong
anak yang cerdas dan cekatan. Sayang, kalau kepandaiaanya tidak terasah dan
berkembang.
‘Biarlah peluh membasahi sekujur tubuh, bagi ayah masa depanmu
adalah hal yang paling terpenting,’ kata pak Budiman dalam hati.
“Ayah nggak papa? Wajah ayah pucat. Hari ini ayah istirahat, biar
Salmi aja yang menggantikan ayah dagang ya.”
Segera ia menghampiri ayahnya yang hampir saja terjatuh. Ia
mendudukkan ayahnya di bangku lapuk ruang tamunya dan segera mengambilkan
ayahnya minum.
“Taka apa nak, kalau kamu yang bekerja sekolahmu bagaimana?”
“Izin satu atau dua hari kan bisa Yah, boleh ya, Yah?”
“Tidak nak, nanti kamu ketinggalan pelajaran. Ayah tidak mau kamu
ketinggalan satu pelajaranpun. Kamu anak ayah satu-satunya, hanya kamu harapan
ayah. Katanya kamu ingin jadi dokter? Bagaimana bisa kamu jadi dokter kalo kamu
sering bolos sekolah?” marah Pak Budiman mendengar permintaan anaknya,
sedikitpun ia tak pernah meminta anaknya untuk bekerja.
“Tapi, Yah…..”
“Sudah, sana kamu ke sekolah, nanti kamu malah terlambat.
Jangan pikirin ayah. Ayah sudah nggak
apa-apa, Mi. masalah bekerja itu tanggungjawab ayah. Tugas kamu hanya belajar,”
tegas kata-kata Pak Budiman pada anaknya.
Salmi sudah tak dapat mengelak dari kata-kata ayahnya lagi. Dengan
berat hati ia menyalami tangan ayahnya untuk berangkat ke sekolah. Rasanya ia
tak menginginkan ayahnya bekerja pada hari ini. Perasaannya terasa berat untuk
membiarkan ayahnya bekerja disaat keadaannya tidak sehat.
“Ayah hati-hati ya, kalo capek jangan dipaksain untuk bekerja ya,
Yah.”
Trenyuh dengan perhatian yang diberikan anaknya, ia menangis dalam
hati. Jiwanya rapuh ketika melihat tetesan bening turun ke pipi gebu milik
anaknya. Ia mencoba menafikan segala perasaannya agar tak menjatuhkan air
matanya di depan Salmi. Anaknya tak boleh melihatnya bersedih.
‘Ma’afkan ayah nak, ayah belum bisa membahagiakan kamu. Ayah belum
bisa mencukupi kebutuhan kamu. Ma’afin ayah nak,’ sesal hati seorang ayah
kepada anaknya.
Dengan langkah tegas Salmi melangkahkan kakinya ke sekolah.
Walaupun hanya bermodalkan kaki, semangatnya tak akan pernah pudar oleh
keletihan yang harus dirasakannya. Demi ayahnya, ia akan meraih cita-citanya.
Demi ayahnya, ia tak mengapa harus berjalan kaki untuk seumur hidupnya.
***
“Hai, Mi. untung kamu udah berangkat. Aku lega banget kamu udah
berangkat. Semenit lagi bel udah mau bunyi. Kalau kamu belum brangkat bisa-bisa
kamu nggak dibolehin masuk kelas tau nggak sih,” bebel Ranida pada Salmi yang
baru saja datang.
“Hehehe. Kamukan tau sendiri kalau aku jalan kaki,” kata Salmi
menutupi kesedihannya.
“Nyengir aja bisamu, Mi Mi. Udah ngerjain PR apa belom?”
“Udah dong, Salmi gitu loh.”
“Biasa aja kelles, nggak malu apa kalo dibilang kingkong,” geli
Radina melihat tingkah Salmi yang menepuk-nepuk dadanya sendiri.
“Biarin, kalo mereka ngetawain aku. Balik aja ngetawainlah.
Kingkong kan tahan banting.”
“Nggak lucu ah.”
“Emang.”
Kekentalan persahabatan di antara mereka telah lama bermula. Sejak
duduk di bangku SMP, ia telah menjalin persahabatan dengan Ranida yang juga
merangkap sebagai sepupunya. Sebagai sahabat Ranida sangat prihatin dengan
keadaan Salmi yang terbilang miskin dalam hal perekonomian. Sikap Salmi yang
ceria dan perwatakannya yang sederhana membuat hati Ranida tersentuh ingin
menjadikannya teman baik.
“Mi…..”
“Hm…?”
“Kelas kita bakal kehadiran anggota baru.”
“Truss…?”
“Hih, komen apa gitu kek. Aku kan serius tau,” marah Ranida dengan ketidak
seriusan Salmi.
“Hehehe. Oke-oke jangan ngambeg dong beb. Aku nggak pandai bujuk orang
tau,” kata Salmi dengan gelaknya.
Salmi menghentikan gelaknya, ia segera membetulkan duduknya. Bu
Resmi telah siap memasuki ruangan dengan wajah galak dan pandangan yang sangat
menyeramkan.
“Perasaan belnya belum bunyi deh,” bisik Ranida pada sahabatnya.
“Rusak kalik.”
Terangguk-angguk Ranida dengan jawaban Salmi.
Ia melihat wajah polos Ranida sambil tergelak dalam hati. ‘Semudah
itu dia percaya belnya rusak,’ kata Salmi dalam hati.
“Oke anak-anak, belnya sedang rusak. Jadi, Bu guru langsung masuk
tanpa menunggu bel.”
Ia tersenyum kecil, tak menyangka tebakannya benar.
“Kenapa kamu senyam-senyum sendiri, Mi?” Tanya Bu Resmi.
“Heh? Oh, nggak papa kok Bu. Hehehe,” jawab Salmi malu. Tak
menyangka Bu Resmi melihatnya tersenyum.
“Wah, dia kesengsem sama anak baru tuh,” ledek seorang anak
yang duduk di depannya.
“Iyah tuh,” serentak semua anak menyoraki Salmi kecuali anak baru
tadi.
“Sudah, diam-diam,” ujar Bu Resmi menenangkan. “Lain kali jangan
suka senyam-senyum sendiri. Ajak seisi kelas juga biar tambah rame,” tambahnya
pada Salmi dengan wajah menyeramkan, membuat sekujur tubuh Salmi meremang.
“Iya Bu,” jawab Salmi kaku.
Salmi acuh tak acuh saja dengan ungkapan teman sekelasnya yang
memojokkan. Memang dia tak ada hubungan apapun dengan anak baru itu, lagian
senyum tadi bukan karena dia. Weih, jangan harap.
Johan memperkenalkan dirinya sambil memerhatikan gerak-gerik cewek
yang disudutkan dengannya tadi. Ia tertarik dengan gadis mungil bermata ‘hazel’
itu. Sikapnya yang santai membuatnya ingin mengenal gadis itu lebih jauh.
Jam pelajaran terasa begitu lama bagi Johan. Ia resah menunggu jam
istirahat, tak sabar untuk berkenalan dengan gadis berkulit putih
kemerah-merahan yang langsung memikat hatinya. Walaupun telah mengetahui
namanya, Johan tetap menginginkan perbincangan di antara mereka.
Kriiiiing
Seisi kelas berhambur keluar ketika mendengar bel berbunyi,
menikmati jam istirahat ke kantin. Sinar matahari yang terik mengeringkan
kerongkongan siapa saja. Perut yang berbunyi tak kalah nyaring dengan suara bel
jam istirahat.
Sementara semua anak berhambur mengisi perut dan melegakan dahaga,
Salmi dan Ranida tetap berdiam diri di kelas. Ia paham dengan kondisi keuangan
sahabatnya. Salmi memang tak pernah mau menyusahkan ayahnya.
Tak ingin temannya berduka sendiri, sebagai teman ia menemaninya
dengan menduduki rekor tak pernah menjejakkan kaki di lantai kantin sekolah. Kalau
boleh dipikir panjang, ia dapat menghemat uang sakunya juga. Namun, karena
merasa bosan dan lapar ia membawa bekal untuk dimakan bersama Salmi.
“Mi, makan yuk. Nih aku bawa bekal.”
“Nggak ah. Kamu makan aja, Da. Nanti kalo kamu nggak kenyang aku
lagi yang disalahin,” kata Salmi mencoba menolak.
“Ah, nggak usah sungkan-lah, Mi. lagian aku bawa bekal cukup untuk
kita makan berdua.”
“Ya udah deh. Aku ikut makan. Hehehe. Terima kasih ya, Da. You are
my bestfriend,” ucap Salmi dengan perasaan sungkan dan terharu.
“Ok, kasih diterima,” jawab Ranida dengan senyumnya.
Johan yang tengah memerhatikan tingkah laku kedua sahabat itu tersenyum
memuji. Entah mengapa hatinya tertawan dengan gadis yang baru dikenal namanya.
Cinta pada pandangan pertama. Keceriaan Salmi, hati budinya, all about Salmi
make heart’s Johan flying.
Terkagum-kagum Johan dengan kecantikan yang dimiliki gadis bermata
‘hazel’ itu. Tanpa berpikir panjang kakinya melangkah membawa tubuhnya
menghampiri dua sahabat kental itu.
“Hai, boleh ikut gabung?”
Serentak Salmi dan Ranida menoleh ke asal suara. Salmi yang pelik
langsung tak menyahut. Ranida yang heran hanya diam membisu, baru kali ini ada
anak yang selain dirinya dan Salmi tetap berada di dalam kelas.
Ya, teman-teman mereka rata-rata orang berada. Tak mungkin
menghabiskan waktu istirahat hanya berdiam diri di kelas.
“Boleh apa nggak nih?” Tanya Johan lagi.
“Eh, boleh aja. This is frirst momen nih, ada yang mau gabung,”
kata Ranida jujur.
“Ok, thanks. Hehehe.”
“Kamu nggak ke kantin, Han?” Tanya Ranida.
“Enggak, lagian aku disini kan baru. Mana aku tau seluk beluk
sekolahan ini. Lagian mummyku nglarang aku beli jajan sembarangan. Nggak
higenis katanya. Hehehe. Sebagai anak yang takut durhaka, aku si manut aja,”
kata Johan panjang dikali lebar, membuat Ranida dan Salmi tergelak.
“Kamu udah kelas XII SMA masih aja diribetin sama mummy,” kata
Ranida dengan gelaknya.
“Hehehe. Mummyku emang over protectife sama aku. Soalnya aku anak
tunggal. Ini nih sampe dibawain bekal segini banyaknya takut aku kekurangan dan
jajan diluar,” tanpa rasa segan Johan menyatakan semua tentang dirinya pada
dua cewek yang baru dikenalnya.
Melihat Salmi tertawa, hatinya ikut berbahagia. Namun dalam hal
lain, ia merasa di balik senyumnya itu ada kepedihan yang mendalam. ‘Aku akan
selalu buat kamu tersenyum, Mi.,’ janjinya dalam hati.
“Wah, bagus dong. Kita punya kawan baru yang anti jajan di
kantin,” ujar Radina ceria membuat ketiganya tertawa.
“Emang boleh nih, ada anggota baru yang masuk?” Tanya Johan melirik
ke Salmi.
Salmi yang tadi hanya menjawab denga senyuman mencoba berkata, “eh,
boleh kok. Kenapa enggak? Lebih ramai lebih seru.”
Mereka makan sambil bergurau riang. Satupun dari mereka tak ada
yang perasan dengan pandangan Johan yang meluru ke arah Salmi terus-menerus.
Salmipun tak menyadari kalau ia tengah diperhatikan dengan sangat teliti. Ia
hanya merasa kenyamanan diantara mereka bertiga.
“Panggilan kepada Siti Nur Salmiah untuk segera ke ruang BP
sekarang. Saya ulangi, panggilan kepada Siti Nur Salmiah untuk segera ke ruang
BP sekarang,” ujar sebuah suara dari corong pengeras.
“Hah? Kamu nglakuin apa Mi sampai dipanggil ke ruang BP segala?”
“Nggak tau, perasaan aku anaknya baik deh.”
“Situasi panik kaya gini, masih sempet-sempetnya buat lawak,” marah
Ranida.
“Aku kesana nggak ya?” tanyanya dengan seribu kecemasan.
“Kalo kamu nggak punya salah kenapa harus takut? Ayo kesana, kita
temenin,” ujar Johan melirik ke arah Ranida meminta persetujuan.
“Ok, kita temenin. Santai aja, Mi.”
Debaran yang keras dirasakan oleh Salmi. Perasaannya tiba-tiba
digandrungi oleh ribuan keresahan dan kecemasan. Pikiran buruk semakin memenuhi
kepalanya. Namun, tubuhnya tetap tegak dengan riak wajah santai. Hanya gemuruh
dalam dada yang menandakan kalau ia tengah risau.
“Kamu yang sabar ya nak. Ayah kamu mengalami kecelakan bermotor,”
kata seorang guru BP setelah Salmi menemuinya. “Do’akan ayahmu panjang umur,”
tambahnya.
Spontan Salmi terduduk di lantai mendengar pernyataan mengenai
ayahnya. Air matanya tak dapat dibendung, ia mengalir dengan derasnya. Salmi yang
ceria, Salmi yang tegar. Semuanya lenyap ketika mendengar kemalangan yang
terjadi pada ayahnya. Ia tak kuat dengan semua ini.
“Ya Allah. Ayah…..,” ucapnya
lirih.
Ranida segera meraih pundak sahabatnya untuk berdiri. Ia mencoba
menenangkan hati sahabatnya yang tengah berduka.
“Biar kami yang mengantarkan Salmi ke rumah sakit Bu,” kata Johan
meminta izin guru BP.
“Baik, hati-hati di jalan. Kamu yang sabar ya nak,” ujar guru BP
melepas berlalunya ketiga anak didiknya.
Ranida menuntun tubuh lemah Salmi agar tetap berjalan ke arah
halte, sementara Johan mencoba menelephone sopirnya.
***
“Ayah……. Jangan tinggalkan Salmi sendiri. Salmi sama siapa yah,
kalau ayah pergi. Ma’afin Salmi yah, seharusnya Salmi nggak ngebolehin ayah
bekerja. Pasti ayah nggak akan seperti ini,” tangis Salmi sambil memeluk tubuh
ayahnya yang terbujur kaku.
“Sabar, Mi. kita disini ada untuk kamu. Kamu masih punya kita. Ini
semua sudah kehendak-Nya. Kita harus ridha,” kata Ranida mencoba
menenangkannya.
‘Ya Allah, begitu berat cobaanmu menimpa temanku ini,’ rintih
hatinya menangis melihat nasib sahabatnya yang malang. Kecelakaan yang telah
meranggut ibu dan saudara kembarnya, kecelakaan pula yang harus merenggut nyawa
ayahnya. Semua itu membuat trauma yang mendalam pada diri Salmi. Hanya
kehadiran kedua sahabatnya saja yang mampu membuatnya tetap bertahan.
5
Tahun Kemudian…..
Dengan kepandaian dan janji pada almarhum ayahnya-lah Salmi
mendapatkan gelar seorang dokter. Setelah satu minggu menangisi kepergian
ayahnya. Salmi bertekad ingin mewujudkan cita-citanya. Ia ingin membuat ayahnya
bahagia di sisi-Nya dan bangga ke padanya. Senyuman tak pernah terputus dari
bibirnya mengingatkan itu adalah pesan dari ayahnya.
“Tak baik larut dalam kesedihan sayang, ayah bahagia memiliki anak
seperti Siti Nur Salmiah,” hanya kata-kata itu yang mampu menjadi semangat
untuk terus menjalani hidupnya.
“Hei, Bu dokter nglamunin apa ini?” Tanya Johan yang langsung
menyadarkan Salmi dari lamunan.
“Eh, nggak papa kok.”
Ia dan Johan bergelar sebagai dokter. Sementara sahabatnya Radina
memilih menjadi perancang busana muslim. Ia sekarang meneruskan belajarnya ke Ausi.
Sunggung beruntung nasib sahabatnya, itupun juga atas kerja kerasnya selama
ini.
“Kamu inget ayah kamu ya, Mi?”
Pertanyaan Johan benar-benar tepat sasaran. Ia selalu tau apa yang
tengah ada di pikiran Salmi. Ia juga mampu membuat kesedihan menjadi tawa,
hari-harinya selalu dipenuhi dengan canda tawa jika bersama Johan.
Namun, Salmi hanya diam seribu bahasa jika membicarakan masalah
hati. Ia sama sekali tak bermaksud untuk menyambut hati lelaki yang telah lama
mendambanya.
Johan yang mengerti suasana hati Salmi mencoba mengalihkan dari
pertanyaanya semula. Ia tau Salmi memang memikirkan ayahnya.
“Kita makan siang yuk. Udah sepi nih, setelah makan kita shalat ke
masjid,” ajak Johan lembut.
Salmi hanya mampu mengangguk setuju.
‘Jangan baik denganku, Han. Aku tak akan mampu membalasnya. Orang
sebaik kamu tak pantas bersamaku,’ getir hatinya menangis.
Ia begitu trauma dengan segala yang telah menimpa keluarganya.
Hanya ia saja yang mampu bertahan di dunia, membuat ia beranggapan kalau
dirinya-lah penyebab kematian keluarganya. Ia tak mau hal yang sama terjadi
pada Johan, orang yang amat ia sayangi.
“Kamu langsung balik, Mi?” Tanya Johan setelah merapikan
sajadahnya.
“Enggak, aku masih ada pekerjaan di hospital. Kak Nadin kan lagi
sakit, jadi aku menggantikan dia jaga sore. Kamu pulang aja dulu, aku nggak
papa.”
“Ya udah deh. Aku pulang.”
Dengan perasaan yang aneh dan berdebar-debar, ia melangkah
meninggalkan Johan. Entah mengapa perlakuan Johan tak seperti biasanya. Kali
ini ia sedikit lebih dingin dari sebelumnya.
Salmi berjalan santai dengan pikiran yang masih lekat pada Johan,
sampai-sampai mobil yang melaju kencang ke arahnya tak disadari. Ia baru
berhenti ketika suara seseorang yang begitu ia kenali memanggil namanya.
“Salmi, awasss…,” seseorang mendorong tubuhnya hingga terhempas
kesisi jalan. Matanya tertutup menahan perih pada lengannya yang terbentur batu.
“Ya allah, Johan…..,” segera ia bangun dan menghampiri lelaki yang
telah berlumuran darah.
“Johan….,” panggilnya sambil bergenang air mata.
“Kenapa kamu lakukan ini semua? Tolong, tolong selamatkan teman
saya…,” teriaknya meminta tolong.
“Karena aku mencintaimu Siti Nur Salmiah,” kata Johan sebelum
menutup matanya.
Salmi memeluk tubuh sasa Johan yang belumuran darah. Ia menangis
sejadi-jadinya. Ia merasa amat bersalah, ia merasa jiwanya telahpun hilang.
***
Salmi cemas menunggu kabar dari dokter. Perasaannya hancur lebur
ketika melihat wajah pucat Johan. Trauma lama kembali menyelami mindanya.
Serta-merta tubuhnya ambruk karena tak kuat dengan kejadian itu. Ia
pingsan dengan menyebut nama Johan.
Tersadar dari pingsan, Salmi segera menuju ruang UGD dimana Johan
dirawat. Ia khawatir dengan keadaanya, ia tak akan pernah bisa memaafkan
dirinya jika terjadi sesuatu dengan lelaki itu.
‘Johan, jangan tinggalkan aku. Aku berjanji akan menyambut hatimu,
aku berjanji tak akan mengelak darimu lagi. Aku juga mencintaimu Han,” janjinya
dalam hati.
Gugur air mata Salmi ketika melihat tubuh lelaki yang dicintainya
telahpun tertutup kain. Ia bertubi-tubi menyalahkan dirinya atas apa yang telah
menimpa Johan. Rasanya ia juga menginginkan kematian saat melihat wajah yang
tak bermaya mengukir senyum kepadanya.
“Ma’af, saya tidak dapat menolongnya,” ucap seorang dokter yang
menangani Johan.
“Tidaaaaak…..”
Dengan mendadak Salmi bangun dari tempatnya berbaring.
‘Ya Allah, Cuma mimpi. Astaghfirullah….,’ getir hatinya.
“Johan…..,” kembali ia menyebut nama itu. ‘Bagaimana keadaannya
sekarang? Aku harus menemuinya,’ getus hatinya berbicara.
Namun, ia kembali terduduk. Ingatannya kembali tertuju pada
mimpinya barusan. Ia amat takut kalau saja mimpi itu menjadi kenyataan.
Serta-merta air matanya mengalir membasahi pipi apabila membayangkan wajah
pucat Johan. Ia tak kuat, sungguh tak kuat.
“Happy birthday to you… happy birthday to you… happy birthday,
happy birthday Salmi.”
Dengan wajah penuh dengan linangan air mata. Ia mencoba mengangkat
kepalanya yang terasa berat. Bermimpikah ia mendengar suara yang begitu ia kenali?
“Johan…..,” air matanya semakin deras mengalir.
“Happy birthday, Sayang..,” kata Johan sambil mengusap air mata
Salmi.
“Kenapa…. Kenapa kamu ada disini? Bukannya….,” lidahnya kelu. Ia
benar-benar kebingungan. “Ranida….?”
Pikirannya semakin keliru apabila melihat sahabatnya juga berada
disini. Bukannya ia tengah belajar di Ausi?
“Happy birthday ya Mi,” katanya sambil membawa kue yang berhiaskan
lilin.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kecelakaan? Renida?” Tanya Salmi
mencoba mencari jawaban.
“Semuanya Cuma rekayasa Mi. Aku nggak pernah ke Ausi. Kecelakaan
itu bohongan. Ini semua rencana Johan buat kasih kamu sureprise.”
“Tapi bukan begini caranya,” marah Salmi pada keduanya.
Ia berlari keluar ruangannya. Mencoba mencari hawa sejuk. Sejak
tadi, dadanya terasa sesak menyiksa.
Ia berhenti ketika lengannya dipaut oleh sebuah tangan yang kekar.
Ia mencoba menepis. Tetapi, pautannya begitu kuat melingkari lengannya.
“Salmi…. Ku mohon, ma’afkan aku. Aku tak bermaksud…”
“Lepaskan lenganku, Ham.,” pinta Salmi meronta dengan kasar.
Johan membawa tubuh Salmi ke
dalam pelukannya. Kali ini ia tak akan melepaskan gadis mencuri hatinya,
tak akan membiarkan ia menolaknya lagi.
Salmi mencoba untuk melepaskan pelukan Johan. Tetapi, tenaganya
yang memang lebih lemah dibandingkan dengan Johan, membuat ia tak mampu
mengelak lagi dari pelukan lelaki itu.
“Janjilah padaku, Mi. kali ini kamu tak akan menolak,” pinta Johan
sambil melemahkan pelukannya tetapi tak melepaskan genggaman tangannya.
“Tak taukah betapa cemasnya aku? Tak tahukah kamu, aku hampir saja
bunuh diri jika terjadi apa-apa sama kamu? Tak tahukah….”
“Ssst….,” jari telunjuknya melarang Salmi untuk meneruskan
kata-katanya.
“Aku baik-baik saja. Tidakkah itu lebih penting?” Tanya Johan
dengan nada yang terbilang romantis.
Salmi hanya mampu mengalirkan air matanya kembali. Ya, keadaan
Johan memang lebih penting dari segalanya.
Salmi kembali memeluk tubuh sasa milik Johan.
“Jangan tinggalkan aku, Han. Aku tak bisa berpikir jernih ketika
melihatmu dalam keadaan seperti itu. Aku takut…”
Johan menyeka air mata Salmi. “Ok, aku janji. Tapi kamu juga harus
berjanji akan menerimaku?”
Salmi hanya mampu mengangguk dalam pelukan Johan.
Ia melemaskan pelukan di antara mereka dan berlutut di hadapan
Salmi.
Salmi yang kebingungan mencoba mencari jawaban di sebalik raut wajah
dan mata milik lelaki yang kini telah memaut hatinya. Ia melihat keseriusan di
dalamnya.
“Aku bukan lelaki yang sempurna. Kamu tahu itu. Tetapi aku ingin
hidup bahagia bersamamu, menjadi sempurna bila bersamamu.”
Johan mengambil kotak disakunya, dengan perlahan ia membukanya.
Terpampang cicin bertahta berlian di dalamnya, membuat Salmi menutup mulutnya
karena kaget. Johan melamarnya?
“Will you marry me, Siti Nur Salmiah binti Khairul Budiman?”
Salmi hanya mampu mengangguk. Untuk kesekian kalinya Salmi
menangis. Namun, untuk kali ini ia menangis karena begitu bahagia dengan
rancangan Allah. Sungguh indah nan agung. Semoga kebahagiaannya bersama
Johan kekal di dunia maupun di akhirat nanti. Amin.
Baca Juga : Kumpulan Puisi Menarik dari n_muf 2015, Daftar 14 Puisi Menarik dan Keren n_muf, Daftar 10 Cerpen Terbaik n_muf 2020
Baca Juga : Kumpulan Puisi Menarik dari n_muf 2015, Daftar 14 Puisi Menarik dan Keren n_muf, Daftar 10 Cerpen Terbaik n_muf 2020
0 Response to "Cerpen menarik N. Mufidah"
Posting Komentar