Latihan menulis cerpen, contoh cerpen inspiratif
Si Penjual Molen
Oleh : N. Mufidah
“Nuwun.”
“Nggeh
sekedap ya mbak. Lan, iki lho mbak Ida dodolono ndipek. Ma’e lagek ngoleni,”
kata seseorang dari dalam rumah.
Aku
berdiri di ambang pintu kecil rumah itu. Dari jam kecil yang ku lihat di
dinding, menunjukkan pukul setengah enam pagi. Terlalu pagi untuk seorang
pelajar tingkat SMA yang telah siap berseragam. Aku menunggu seseorang
melayaniku dalam perjual-belian. Hidungku mencium bau semerbak adonan yang
tengah digoreng. Sungguh nikmat bau itu, perpaduan antara bau adonan gurih dan
pisang manis yang bertemu dengan minyak goreng yang panas.
Di
sisi lain, aku melihat bu Sumarni mengaduk-aduk adonannya. Keuletannya dalam
membuat adonan membuatku ingin belajar banyak darinya. Mulai dari mengoleni adonan tepung dengan telur dan
lain-lain, sampai membaluti irisan pisang berukuran sedang dan rapi dengan
adonan yang telah dipipihkan menggunakan mesin kecil pemipih adonan. Sungguh,
pekerjaan yang tidak mudah, kurasa. Membutuhkan keahlian khusus yang telah
terlatih.
Sekali
lagi aku termenung. Sampai kapan aku hidup seperti sekarang ini. Entah kapan
aku bisa merasai kenikmatan hidup mewah layaknya mereka-mereka yang berpakaian
bagus, makan enak dan pergi jalan-jalan kemana pun mereka inginkan. Tetapi,
lagi-lagi itu hanyalah keinginan yang semu, hayalan yang harus cepat-cepat aku
buang dari benak.
“Ayo
mbak, masuk. Iki lho nderek nyicipi,” kata mbak
Wulan, anak dari bu Sumarni. Aku hanya mampu tersenyum dan menggeleng.
“Tumbas
pinten mbak?”
“Kaleh
doso, mbak (20.000).”
“Oh,
sekedap nggeh.”
Aku
masih tetap berdiri di ambang pintu selagi mbak
Wulan membungkusi apa yang aku pesan. Aku melihat sekeliling rumah bu Sumarni.
Terlihat sangat sederhana dengan batu bata sebagai dindingnya dan alas plastik
sebagai lantainya. Rumah itu, membuatku teringat pada rumahku yang juga
demikian. Bahkan, bisa dikatakan lebih miris daripada rumah itu.
Cepat-cepat
aku membuang perasaan itu, aku tidak mau menitikkan air mata di tempat ini
sekarang. Lagi pula pesananku sudah siap.
“Iki
lho mbak, molene.”
Aku
menyambut pesananku dari tangan mbak
Wulan. Ku hulurkan beberapa lembar uang dua ribu rupiah kepadanya dan ucapan
terima kasih atas layanan ramahnya padaku. Ku langkahkan kakiku meninggalkan
pintu kecil tempatku sering menunggu setiap harinya. Semoga hari ini lebih baik
dari hari sebelumnya, harapku dalam hati.
Dengan
segera aku memekai kaus kaki panjangku. Begitu cepat waktu berlalu,
sampai-sampai aku tak menyadari jam telah menunjukkan pukul setengah tujuh
tepat. Itu artinya dua puluh menit lagi kelasku sudah dimulai, aku harus
secepat mungkin agar tak terlambat sampai di sekolah yang hanya membutuhkan lima
belas menit dalam perjalanan. Tergesa-gesa aku bersalaman dengan ibuku dan
mengucup punggung tangannya sekilas saja.
“Assalamu’alaikum
mak. Aku berangkat,” ucapku ringan yang sedikit kurang tahu berbahasa krama dengan ibuku.
“Wa’alaikumussalam.
Hati-hati lho nduk,” pesan ibuku.
“Iya
mak.”
Tercungap-cungap
aku berlari ke rumah Iman sepupuku supaya bisa mempersingkat waktu. Sejak subuh,
ayahku telah pun pergi bekerja sebagai tukang pembuat tahu di rumah salah satu
saudara keluargaku. Sehingga membuatku perlu meminta bantuan dari sepupuku
untuk mengantarkanku ke sekolah setiap
harinya. Pagi tadi aku harus mencuci piring dan
menyiapkan sarapan untukku dan adik-adikku sebelum mereka pergi ke sekolah. Aku pula harus
menyiapkan bekal untuk diriku sendiri untuk menghemat uang sakukua. Ibuku tak lagi sekuat
dulu, sakit lambung yang diidap beliau menghambat segala rutinitas sehari-harinya. Dan tak terasa sampai
waktu membawaku hingga seperti sekarang ini, tergesa-gesa berangkat sekolah.
“Dek,
anterin aku ke sekolah ya?”
“Kapan?
Saiki?” canda iman membuatku sedikit geram. Aku hampir terlambat masih saja
mengajakku bercanda. Hurmmm...
“Hu’um,”
kataku lelah.
Kebiasaanku
dengannya, kata-kata yang selalu terulang setiap kali aku meminta untuk
mengantarkanku ke sekolah. Apa dia tidak bosan? Apalagi ketika aku telah
menaiki sepeda motornya.
“Uwes?”
tanyanya tanpa bosan.
“Durung
tutuk. Wes ayo,” jawabku tak mau terjebak. Kalau aku bilang ‘sudah,’ pasti aku
disuruh turun olehnya. ‘Hurmmm...
nyebelin nggak sih?’
“Makasih
ya, Man. Take care,” kataku sambil berlari menuju gerbang sekolah.
‘Alhamdulillah, best banget dek Iman nyupirnya. Aku nggak jadi telat deh.
Hehehe,’ dumalku sendirian.
“Nggowo
molen, da?”
Pertanyaan
yang selalu ku hafal dari teman-temanku ketika aku baru sampai di pintu
kelasku. Memang sejak aku duduk di bangku MTs dari kelas satu hingga sekarang
aku di tingkat SMA, aku menjajakan pisang berbalut atau nama kerennya molen. Aku tak pernah malu jika harus
diberi gelaran ‘si penjual molen’ di sekolah. Mengapa aku harus malu? Karena
memang itu keseharianku, menjual molen di sekolah. Bahkan aku bangga dapat
menghasilkan keuanganku sendiri.
Bahkan
lebih dari itu, aku pernah membantu ayahku dengan berjualan sosis di TPQ(Taman
Pembelajaran alQuran). Aku senantiasa bahagia ketika berjualan, tak ada sedikit
pun rasa malu pada teman-temanku
atau anak sebayaku. Biarlah orang membiacarakan aku
apa, asalkan aku masih bisa makan dan berpakaian lengkap. Alhamdulillah, aku
masih bersyukur walaupun terkadang aku merasa iri dengan kemewahan
teman-temanku.
Betapa
aku sangat merindukan masa kecilku yang dipenuhi dengan perjuangan mencari
sesuap nasi bersama ayahku. Sungguh aku sangat merindui ketika aku pulang
sekolah langsung menuju warung kecil ayahku di TPQ. Aku dan ayahku menyiapkan
segala yang perlu kami siapkan untuk berjualan sosis. Mungkin dimulai dari
waktu aku baru berusia sepuluh tahun. Tapi di
usia yang dini itu, aku sudah pandai melayani
pelanggan. Aku juga merindukan saat belajar mengaji Diniyah atau sekolah Agama. Aku sangat menikmati masa itu, sungguh
tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku yang bersemangat belajar masalah
agama, mulai dari sejarah Islam, Nahwu
Sorof, Bahasa Arab dan sebagainya itu sangat aku rindukan.
Namun,
ketika aku telah menduduki bangku kelas enam. Aku terpaksa berhenti berjualan
dan mengaji. Aku mulai sibuk dengan persiapan Ujian Akhir Sekolah. Kapan aku
bisa seperti dulu lagi aku pun tak tahu. Semakin aku tumbuh besar, semakin aku
disibukkan dengan berbagai kesibukan. Sampai aku tak lagi merasai dan
melanjutkan berjualan dan mengaji lagi. Semua terasa kurang lengkap ketika
rutinan itu hilang. Hanya perasaan menyesal yang menghampiriku hingga saat ini.
Aku
diberi kebebasan oleh ayahku memilih dimana aku meneruskan sekolahku. Menurutnya, kebahagiaanku lebih dari segala-galanya. Dengan
hati yang bahagia aku lebih memilih sekolah yang ada unsur agama di dalamnya.
Tekadku bukan hanya ilmu-ilmu pengetahuan saja yang aku perdalami tetapi ilmu
agama juga harus aku pegang. Supaya hidupku damai dan terkendali.
Mulai
dari sinilah perjalananku sebagai penjual molen. Aku mulai menjajakan dagangan
molenku dari kelas satu. Dengan alasan aku merindui berjualan sosis. Dengan
begini rinduku sedikit terobati, karena aku tak lagi bisa berjualan sosis
seperti dulu lagi. Kesibukanku menghambat itu semua. Memang aku hanya berjualan
di kelasku saja. Tetapi Alhamdulillah, hasilnya sudah lumanyan. Sebagian untuk
uang sakuku dan sebagian lagi ku tabungkan. Aku tak perlu lagi mengemis-ngemis
di depan orang tuaku meminta uang saku.
Dari
kecil lagi, aku sudah diajarkan untuk hidup mandiri. Supaya aku tidak
menyusahkan banyak orang. Hingga sampai menjadi prinsip hidupku. Tidak mengapa,
aku tak malu jika dicap apapun oleh orang di sekelilingku. Yang terpenting
adalah aku masih berada di jalan yang benar.
Semua
itu berubah. Semua berubah ketika muncul seorang yang mengubah diriku. Aku
berubah, kepolosan dan keluguan yang dulu ada, mulai menghilang. Aku hanyut
dalam cinta yang belum dewasa. Mungkin karena aku masih belia, baru menginjak
hampir lima belas tahun, yang pada artinya aku baru duduk di kelas tiga tingkat
menengah ke bawah. Yah, aku remaja normal. Aku jatuh cinta. Tetapi, cinta itu
bukan cinta yang membawa keuntungan bagiku. Cinta yang belum dewasa itu,
membawa keruntuhan bagi diriku sendiri. Sungguh cinta datang di waktu yang
kurang tepat.
Waktu
yang seharusnya ku gunakan untuk belajar dengan tekun, agar senarai prestasi ku
genggam di akhir sekolah. Malah ku sia-siakan untuk memencet sekumpulan tombol
di handphone pemberian ayahku. Yang pada dasarnya ku dapat dari kerja kerasku
mendapatkan yang paling utama dalam perebutan masuk kelas 9 profetik.
Menyesal?
Itu pasti. Tapi, sesal itu tak ada gunanya lagi. Aku harus bangun. Yah, bangun dari
rasa sesal yang mulai terasa di hati hingga sampai saat ini. Sesal karena hasil
Ujian Akhirku jeblok. Kalau sudah
begitu, siapa yang hendak aku salahkan? Cintakah? Mengapa aku harus
mempersalahkannya jika kesalahan itu ada pada diriku sendiri? Aku yang terlalu
hanyut. Bahkan kehanyutanku, membuatku lupa pada diriku sendiri. Aku tak lagi
berjualan molen hanya karena malu.
Entah dari mana rasa malu itu aku pun tidak tahu. Yang aku tahu, aku malu jika
dirinya tahu aku ‘si penjual molen’. Sungguh, aku tidak ingin dia tahu tentang
diriku yang sebenarnya.
Aku
mulai pandai berbohong pada ayahku, aku mulai pandai menyembunyikan keburukan
di balik keindahan budi pekertiku. Sungguh, itulah saat paling terburuk yang
ada pada diriku dengan mulai menjadi peminta-minta di depan muka ayahku. Apalagi
beliau tak menyadari kesalahanku, keburukanku, maka dari itu semakin aku memanfaatkannya. Setan
jahannam apa yang merasukiku dan meracuni sistem kerja otakku?
Aku
sungguh kesal mengapa dahulu aku begitu. Aku tewas oleh cinta. Yah, cinta yang
belum dewasa itu kandas di tengah jalan. Mungkin karena rasa bosan dan sekolah
yang berasingan tempat setelah kelulusan kami terima. Dia sibuk dengan
urusannya, begitu pula aku. Heh, perpisahan yang begitu menyedihkan ketika
masih ada rasa di hati. Yang pasti saat itu aku sangat terluka.
Dari
perpisahan itu aku mulai sadar. Mengapa penyesalan harus berada di paling
akhir? Akhir yang membuatku menangis, meraung-raung karena rasa sesal yang
menemani di setiap langkahku. Kejayaan tak ku dapatkan, cintaku pun kandas di
tengah jalan. Sungguh, sangat menyakiti hatiku.
Aku
mulai bangkit walau terasa sangat sulit. Tekadku, aku tak lagi ingin tewas
untuk kedua kalinya. Aku tak lagi mau terpedaya oleh manisnya hidup tanpa
perjuangan suatu apapun. Semua harus berawal dari bawah, baru saat nanti aku
akan menikaminya. Yah, sesulit apapun, harus ku arungi. Demi ayahku, demi
keluargaku. Mulai dari situ aku mencari diriku yang dulu. Aku mulai berjualan
molen lagi. Aku kembali selektif dalam bergaul, segalanya ku lakukan dengan
sangat berhati-hati. Meski awalnya memang berat. Namun, semua terasa mudah
ketika ada tekad dan semangat dalam diriku, sedikit demi sedikit aku kembali.
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah tuhan semesta alam. Rezekiku berkepanjangan. Aku
ditawari mengajar les malam hari oleh saudaraku. Walaupun gajinya tak seberapa,
puji syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepadaku, aku mulai bisa
membayar sendiri syahriyah bulanan sekolahku. Aku mendapatkan keuangan tambahan
selain berjualan molen. Aku mulai mendapatkan kebahagiaanku yang dulu lagi.
Meski tak sesempurna apa yang aku harapkan, tapi aku tetap bersyukur. Lagi-lagi
ku ucapkan,
“Alhamdulillah.”
Ya
Allah, betapa agungnya Engkau. Hambamu ini yang penuh dengan salah, malah Engkau berikan kenikmatan
sebegini nikmatnya. Maha suci Engkau ya Allah, aku tunduk dan patuh, kini aku
sadar tiada kenikmatan yang senikmat jerih payah sendiri, tiada nikmat yang
dirasa dengan instan. Semua membutuhkan perjuangan. Subhanallah.
Baca Juga : Kumpulan Puisi Menarik dari n_muf 2015, Daftar 14 Puisi Menarik dan Keren n_muf, Daftar 10 Cerpen Terbaik n_muf 2020
Baca Juga : Kumpulan Puisi Menarik dari n_muf 2015, Daftar 14 Puisi Menarik dan Keren n_muf, Daftar 10 Cerpen Terbaik n_muf 2020
0 Response to "Latihan menulis cerpen, contoh cerpen inspiratif"
Posting Komentar