Ku ingin dunia membacanya


Kenangan Indah
Oleh : Nurul Mufidah

“Ah...,” suaraku terdengar begitu keras ketika sebuah benda keras mengenai tubuhku. Amat sakit, sampai tulang terasa patah. Mungkin telah menimbulkan bekas hitam nantinya.
“Huhuhu,” entah siapa yang menangis, aku tidak tahu. Aku hanya memerhatikan lukaku yang teramat sakit. Namun, timbul tanda tanya di dalam benakku, ‘siapa yang menangis? Seperti kenal saja suaranya. Aku yang terluka mengapa orang lain yang menangis?’ pikir hatiku geli. Aku mencoba mencari siapa gerangan itu.
Tampak dari jarak yang cukup dekat, sosok tubuh kecil kakak sepupuku sedang berdiri dengan mata sembabnya. Amat lucu pada pandangan mataku. Tapi, mengapa ia menangis? Ia juga terluka sepertiku-kah?
“Maaf dek. Bapak tidak sengaja,” kata sebuah suara dari arah lain.
“Adek tidak apa-apa?” tanyanya kembali setelah aku masih tidak bersuara. Aku menengok ke arah Arman, kakak sepupuku yang masih bermata sembab. Ia hanya melihat sanyu ke arahku.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya mohon maaf juga,” kataku kemudian.
Bapak itu berwajah suntuk sekali, semacam muram. Mungkin karena rasa takut dan bersalah. Tiba-tiba ia mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya, dan menghulurkannya kepadaku.
“Sekali lagi, maaf ya dek,” ucapnya lagi dan kemudian pergi.
Aku masih berdiri sambil memandangi selembar uang dua-ribuan di tangan, dan luka di kakiku. Sungguh double menyakitkan, lukaku hanya dibayar dengan selembar uang dua-ribuan. Tak terlunas dengan perawatan dan kesembuhan. Ah.., malangnya aku.
“Ka... kamu nggak apa-apa kan, Ca?”
Aku mendengar patah pertanyaan dari kakak sepupuku.
“Tak, ini...,” riang kataku sambil melambai-lambaikan uang yang aku dapat.
“Hanya dua-ribu? Kakimu sampai bengkak-lecet kayak gini, hanya dikasih uang segitu?” ujarnya sinis. Aku mengeluh, ‘ini salahku, Kakak!!!!’
“Iya, Cuma segitu. Lagian itu juga salahku. Aku main asal memenuhi jalan. Ini sebagai imbasnya kan? Niruin kakak juga sih. Eh, lagian ngapain juga kakak tadi nangis, orang yang jatuh aku kok yang nangis kakak. Hu... cengeng,” ejekku.
“Hih..., aku kan khawatir. Kamu sih, belum juga handal naik sepeda, udah main songong niru-niruin tingkah aku. Kan baru tahu rasanya sakit, kalo jatoh,” balasnya tak mau kalah.
“Ye..., habis dilihat kayak seru aja sih, jadi kepengen deh, hehehe. Tapi, nggak taunya malah jadi kayak gini,” jawabku sambil menuding ke arah lukaku dengan mimik sedihku.
‘Mungkin kesalahan ini akan menjadi salah satu pelajaran buatku, ketika besar nanti. Agar aku lebih berhati-hati nantinya,’ pikirku berasional.
Kami mengayuh sepeda dengan riangnya. Sudah lupa perihal terserempet sepeda motor sebentar tadi. Gara-gara kejadian tadi, sepedaku menjadi sedikit oyeng. Namun, itu semua terhiraukan. Hanya keceriaan anak-anak saja yang ada, penuh canda-riang. Memang kami masih 8 tahun. Tetapi, kami sangat super dalam menjelajah, super dalam segala hal tentang bermain. Sampai,...
“Ya Allah..., mamak cari-in kalian dari tadi tidak ketemu-ketemu. Kalian habis dari mana? Main tidak ingat waktu, ayo pulang,” kata Emakku ketika kami baru sampai tiga seperempat jalan-pulang. Emak membebel banyak hal tentang kami bedua. Sampai masalah lalupun ikut diungkitnya. Tak peduli di mana kita tengah berada, apalagi dengan keadaanku yang penuh pasir sekarang.
“Kalian sebenarnya dari mana? Kotor semua baju kamu, Ca? Ya Allah..., apa ini kok ada pasir di baju kamu? Ayo, kalian habis dari mana?” tanya Emak membabi buta.
“Main, mak,” jawabku singkat. Habis bingung mau menjawab dari mana dan ke mana. Pertanyaan satu truk-gerobak disebutin Emak semua. Jadi lupa, semua pertanyaan yang sudah diucapin sama Emak. Masuk telinga kanan, eh... keluar telinga kiri. Haduuuh.
“Main? Main dari mana? Kalian habis main dari pantai kan? Ayo jujur, ya Allah Ica, pantai itu jauh. Kalau kalian kenapa-kenapa bagaimana? Siapa yang repot, mamak juga kan?”
Lho? Belum juga aku bilang ‘iya’ udah keluar tuh bebelan panjang Emak. Aduh, pening aku jadinya.
“Iya mak. Ica main ke pantai, sama kakak,” jawabku.
Akhirnya semakin bertambah dan berterus-terusan bebelan dari Emakku yang tertumpah di daun telinga kami. Ya, lagi-lagi aku dan kakak sepupuku dicap sebagai pembuat masalah. Satu kenakalan semakin menambah ke dokumen kenakalan kami yang sebelumnya. Lumrah untuk anak seusia kami. Nakal, bandel, semua ada.
Tapi, di sini aku mulai paham akan seberapa besar kesalahan aku. Menimbulkan niat untuk tidak akn mengulangnya lagi. Mulai dari aku dan kakak pergi tanpa restu dan pulang dengan membawa dua luka. Pertama, kaki. Kedua hati. Oh.., memang malang betul nasib aku.... huhuhu.
Namun, itu semua cukup membekas di dalam benak. Seberapa besar kenakalanku, Emakku tetap menyayangiku, bahkan menghawatirkanku.
Pernah saat aku masih begitu kecil dan begitu nakal, aku membuat sebuah kesalahan yang membuat Emak betul-betul marah. Sampai habis lebam seluruh tubuhku terkena habuan dari Emak. Memang teramat sakit aku rasakan pada tubuh kecilku. Tapi, aku tahu Emak sayang aku, Emak hanya ingin mendidikku agar menuju kebaikan. Hanya saja caranya yang teramat keras kepadaku. Namun, kalau tidak begitu, aku tidak akan menjadi yang sekarang. Semua itu karena rasa sayang seorang ibu pada anaknya. Meskipun anak itu nakal, bandel, tapi bagi seorang ibu anak itu kebahagiaannya.

Baca Juga : Kumpulan Puisi Menarik dari n_muf 2015Daftar 14 Puisi Menarik dan Keren n_mufDaftar 10 Cerpen Terbaik n_muf 2020

Mungkin memang benar, tak semua cerita duka itu menyakitkan, karena aku sendiripun pernah mengalaminya. Malah dari luka itu akan membekaskan sebuah parut untuk pembelajaran kita ketika dewasa nanti. Kisah masa kecilku ini akan menjadi sebuah kenangan yang terindah dan tak akan terlupakan. Karena ini bukan hanya sebuah cerita yang terkenang. Tetapi juaga menjadi sebuah pengalaman terindah. I Love U, Mom.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ku ingin dunia membacanya"