Misteri Cinta

Misteri Cinta
Misteri Cinta Oleh n_muf


“Di sini, di teras rumahku aku menunggu kedatangan seseorang yang begitu berarti bagiku. menunggu setiap senyuman yang dilontarkannya, dan segala perhatian yang ditujukannya padaku.”
“Bel, sedang apa? Cepatlah kita sudah telat nih,” teriak seseorang. cepat-cepat aku menutup lembaran-lembaran berisi coretan harianku. Senyumku mengembang seirama senyumannya yang membangkitkan.
“Bayu-Bayu, aku yang nunggu lama, kamu yang berteriak,” ujarku seraya menaiki sepeda motor miliknya. “Ayo cepat gas motormu,” lanjutku sambil menepuk bahunya.
“Iya bawel,” sahutnya membuatku mencubit bahunya. Ia berteriak kesakitan, aku tersenyum puas seiring motor Jupiternya yang melaju kencang.
Sepanjang jalan ia tak henti-hentinya berbicara, meskipun kelajuan motornya yang hampir mencapai maksimum. Tapi, aku senang mendengarkan tutur katanya, walau aku tahu itu hanya sekedar berjenaka. Itulah dirinya yang tak sedikitpun terlewatkan olehku. Dan aku tahu ia lebih suka begitu, sama halnya denganku yang bahagia berada di sisinya.
“Doooor,” hentaman suara itu tepat mengenai gendang telingaku, hampir pecah hingga sekejap terasa berdengung.
Ah, tanpa menengokpun aku telah tahu siapa gerangan yang kurang kerjaan mengagetkanku di siang bolong, di tengah keramaian kantin. Ya, tidak salah lagi kalau bukan sahabatku yang kurasa akan terus menjadi sahabat walau kelakuannya selalu saja membuat hatiku dongkol dan entah bagaimana mampu membuat hatiku tersesat dan sejenak melupakan ikatan persahabatan yang sudah lama terjalin. Ya, Bayu memang hanya sekedar sahabat, tidak lebih dan tidak juga kurang. Tapi, entah perasaan dari mana yang menuntut hatiku meminta lebih dari hanya sekedar sahabat.
“Bayu, bisa nggak sih, seharian aja nggak ngagetin orang. Lemah jantung aku kalau terus-terusan kamu kagetin kayak gitu. Emangnya jantung terbuat dari baja apa!!” bentakku meluahkan kekesalanku padanya.
“Hehehe, sorry Bel. Lagian jantungmu kan sehat, masih kuat berpacu dengan jantungku ini kan? kan?” ujarnya selamba dengan pandangan yang paling aneh kurasa. Namun. cara memandang dan kata-katanya itu bagaikan belati yang menusuk kulitku hingga terkupas. Kalau saja ia tahu aku tengah memendam rasa padanya, tapi aku terlalu takut untuk mendengar reaksinya nanti, mungkin ia akan menertawakanku atau mungkin menjauhiku selama-lamanya. Aku tak bisa membayangkan bila hari-hariku tanpa tawanya itu, aku masih menyayangi persahabatan antara aku dengannya, aku tak ingin merusak semua itu.
“Hati-hati kalau bicara, nanti kalau pacarmu yang genit itu dengar tahu rasa kamu,” peringatku padanya sekedar menutupi perang di hatiku.
“Biarin, kan aku masih ada kamu yang selalu ada buat aku kan?”
“Uhuk-uhuk…,” terbatuk-batuk aku mendengarnya bertutur. Aku menatapnya dengan sungguh-sungguh berharap setiap kata yang dilontarkannya itu menjadi nyata. Dan sekejap aku kembali menunduk, mencoba menyadarkan diriku tentang situasi yang sebenar-benarnya. Ku sedut kembali jus di tangan, “dasar ngacok kamu Yu. Mana mau aku kamu jadiin tempat sampah, udah ah aku mau pesen makan dulu ya, laper nih. Kamu mau pesen juga nggak?” dalihku sambil berdiri membenarkan ucapanku.
“Oke deh soto satu, ama jus jeruk ya. Jangan lupa sekalian bayarin pesenanku,” katanya sambil terbahak-bahak, aku hanya menatapnya heran. ‘Dasar Bayu songong.’
Dengan berbagai perasaan yang berkecamuk, aku membawa nampan berisi pesananku dan Bayu ke arah meja yang tadi ku tempati. Mungkin karena terlalu terbawa suasana membuatku tak sadar telah menabrak seseorang.
“Eh sorry-sorry,” ujar seseorang. ‘Sebenarnya yang nabrak aku apa dia sih?’ Tanyaku heran dalam hati.
Dan ketika aku mendongak ia sudah tak lagi di tempat, melainkan meninggalkanku begitu saja, ‘huh dasar cowok, semuanya serba gimik huh.’ Cepat-cepat aku membersihkan seragamku yang terkena jus dan mengembalikan nampan dan mangkuk yang tak lagi berisi.
“Bay, ke kelas yuk. Bete’ nih.”
“Lho sotoku mana?” Tanyanya semakin membuat raut wajahku dongkol.
“Terbuang percuma bersama luka di hatiku,” jawabku sambil melangkah pergi meninggalkannya yang berwajah heran.
“Benar kata pepatah, cinta memang tak bisa dipaksakan ataupun direncanakan. Dia sahabatku dan mungkin akan terus menjadi sahabat bagiku. Sampai sekarang, Bayu masih belum tahu tentang perasaanku padanya, dan aku tak menginginkan untuk meluahkan rasaku ini padanya. Aku lemah dalam hal ini, tak kuasa mengetahui segalanya bila ia tak mampu menerimaku sebagai kekasih ataupun sahabatnya lagi, yang jelas mungkin rasaku ini akan terpendam tanpa sempat aku mampu meluahkannya,” coretan penutup malamku untuk berbagai rasa yang membelenggu.
Aku mencoba bersikap tenang, ku buka Android baru pemberian ayahku. “PING!!” sebuah kata yang muncul di BBM yang entah baru ku lihat kali itu, entah apa maksudnya pun aku tak tahu.
“Hai, good night,” tertulis sapaan sesudahnya.
“Hai, good night too,” jawabku sengaja mencoba akun BBku yang baru, orang pertama harus dilayani kan? Hehehe.
“Namamu?”
“Bela.”
“Aku udah lama mengamati kamu, mungkin kamu nggak tahu kalau aku yang sengaja nabrak kamu tadi, sorry.”
‘Hah? Sejak kapan aku punya the secret admirer, oh jadi yang nabrak aku dia?’ Tanpa mau banyak berpikir aku menutup akunku dan terlelap bersama tanda tanya dan segala gulana hati.
Sejak itu, selalu saja ada yang memberiku sebuah titipan salam, katanya dari Yudi. Tapi Yudi siapa? Aku sama sekali tidak tahu dan tidak mau tahu. Aku tergolong orang baru di sekolah ini, tak ada yang ku kenal selain teman sekelasku dan Bayu, apa mungkin dari seseorang yang suka mengamatiku itu? Entah mengapa, bulu kudukku tiba-tiba menjadi merinding mendengarkan bisikan hatiku. ‘Jangan-jangan aku punya musuh lagi. Hih serem,’ tutur hatiku tak berirasional.
Malam ini mungkin malam yang paling membuatku berdebar. Ya, memang benar halnya bahwa aku sudah sering keluar bersama Bayu, tapi entahlah dengan malam ini. Terasa begitu riang dan berbeda. Ataukah Bayu mendengar semua luahan hatiku selama ini? Dan.., tapi ah tidak mungkin juga. Kita kan sahabat.
Seperti biasa, semuanya terasa lengkap bersama Bayu. tak ada sedikitpun celah dalam sebuah lingkaran yang tercipta oleh kebersamaanku dengannya. Mungkinkah ia dapat mendengar lantunan hatiku ini? Ah, bahagia rasanya bila memikirkan segalanya tentang dia. Tapi, ketika ku ingat-ingat kembali persahabatan kami, terasa tidak pantas bila aku mengharapkan sesuatu yang lebih dari dirinya.
“Bel, kamu dengar apa nggak sih?” pertanyaannya membuatku terbangun dari lamunan.
“Hah? Apa?” Tanyaku bingung.
“Kamu nglamunin apaan sih, Yudi ya? Kamu udah jadian kan sama dia?” Entah mengapa hatiku menjadi sakit ketika mendengar ia bertutur demikian. Sekalipun ia tak pernah bersuara kasar padaku, baru kali ini ia tampak begitu berbeda, tak satupun aku melihat seorang Bayu di matanya saat itu.
“Kalau iya memangnya kenapa?” Tanyaku mencoba menantangnya. Tiba-tiba ia membuang sepatuku yang sejak tadi ku lepaskan.
“Kamu kenapa sih Bay? Kok jadi aneh gini?”
“Kamu yang aneh sejak dia datang. Kenapa nggak pernah cerita sama aku? Apa gunanya aku di sini ha?” ujarnya marah.
“Tapi, Bay…, bukan begitu maksud aku,” ujarku takut, tak ku sangka ia akan semarah itu. Ku kira malam ini begitu istimewa, tapi sekarang sudah tidak.
“Udah ah Bel, kita pulang yuk. Udah malem nih, nanti ibu kamu nyariin,” potongnya mengalihkan pembicaraan. Sejenak aku menatap ke anak matanya, namun ia mengalihkan pandangannya padaku. Aku semakin merasa jauh darinya, hingga aku berpikir mungkin Bayu kecewa padaku. Tapi, kecewa karena apa, aku tak tahu. Buntu rasanya memikirkan sikapnya yang berubah-ubah.
Ribuan kali orang itu mengirimiku pesan, namun satu katapun tak ku gubris. Pikiranku tengah berpusat pada kemarahan Bayu yang tak kunjung reda. Apa karena aku sudah tidak nebeng dia ke sekolah lagi, jadi hubungan antara aku dengannya menjadi renggang? Atau karena aku yang tak memahaminya hingga membuatnya lari dariku? Ah, sejak kapan aku tidak memahaminya? Setiap kali ia bermasalah, aku ada untuk memberikan solusi bahkan meredakan kemarahan dirinya yang kadang tak terkendali itu. Lalu mengapa dia bersikap demikian?
Aku semakin buntu dengan segala pemikiranku yang dangkal. Tak satupun alasan yang menguatkan mengapa Bayu memutuskan persahabatanku dengannya. Yah, mungkin lebih tepatnya menggantung persahabatan, ia masih mau menjawab kata-kataku ataupun masih mau bercakap denganku, tapi semua itu belum cukup untuk mengembalikan segala yang dulu. Apa dia sudah melupakan itu? Atau memang tak pernah terjadi apa-apa antara aku dengannya? Atau…, hanya aku saja yang berbahagia dengan segala kecerian yang dulu pernah aku alami?
‘Huh, entahlah Yu. Terserah kamu mau bagaimana!! Aku sudah tak lagi mengerti dirimu yang sekarang,’ teriak hatiku kesal, yang tanpa aku sadar aku telah memutuskan sesuatu hal yang sangat berarti.
Aku mengamati seseorang yang berada di depanku, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia duduk bersila mengamati handphonenya dengan begitu serius. Entah apa yang dimainkannya hingga membuatnya sedemikian, tapi senyumku mengembang setiap kali dahinya berkerut atau ia menggigit bibirnya karena keras berpikir. Terus saja aku mengamatinya hingga ia mendongak menatap ke arahku, mungkin ia sadar kalau ada seseorang tengah mengamatinya. Ia menatap heran ke arahku, mencoba mencari tahu dengan bahasa isyaratnya mengapa aku menatapnya sedemikian sampai tak berkedip. Ku beranikan diriku menatap ke anak matanya yang hitam, tapi tak sekalipun ia berpaling dari mataku hingga membuat mataku pedih dan tak kuasa menatapnya lagi.
“Dasar bodoh,” ujarku sambil tertawa.
“Kenapa?” Tanyanya bingung.
“Kamu benar-benar tak takut bila aku berlama-lama menatap matamu.”
“Aku suka mata sipitmu,” cetusnya. Mataku membulat, ‘apa? Dia kira mataku sipit?’
“Tuh kan sipit, sebesar mana kamu melotot tetap aja sipit, hahaha,” ujarnya sampai terpingkal-pingkal. Aku merasa dongkol apabila dia menertawaiku sedemikian, muncungku mungkin sudah sedepa memperlihatkan ketidak puasanku padanya. ia semakin keras menggelakkanku apabila melihatku berwajah tak berpuas hati.
“Yudiiii, sit up, jangan ketawa lagi, aku nggak suka,” marahku sambil berlalu pergi.
“Hey, hey. Aku hanya bercanda,” pintanya menyesali. Aku terus saja berlalu bersama senyumanku yang tersembunyi.
“Oke, oke aku minta maaf. janji nggak buat lagi,” hadangnya sambil memohon seperti anak kecil. ‘Oh, sudah tahu rasanya takut kehilangan ternyata,’ tutur hatiku puas.
Ya, aku tak pernah tahu misteri cinta itu seperti apa. Tapi, yang aku tahu Yudi selalu membuatku tertawa dan bahagia, meski terkadang aku membuatnya sakit hati. Sudah banyak kali aku mengacuhkannya tapi tetap saja ia datang menjadi seorang penghibur setia. Entah dari mana dimulainya kisahku dan dia, rasa itu tiba-tiba muncul tanpa sempat aku sadari. Dan, Bayu? Entahlah, lagi-lagi entah dan entah jika mengingatnya yang dengan mudah memutuskan lingkaran persahabatan begitu saja. Dan jika mempertanyakan tentang perasaanku, aku tak mau dan tak bisa menjawabnya. Yang aku tahu, sekarang ada Yudi yang setia mewarnai hariku yang penuh dengan abu-abu.
“Kita PUTUS,” ujarku padanya siang itu.
“Tapi kenapa?”
“Kamu tahu ini apa?”
“Botol,” ujarnya ringan tapi penuh dengan kerapuhan. Aku tahu ia sakit, tapi aku lebih sakit.
Dengan sekuat hati aku meremas botol aqua kosong itu hingga remuk tak berbentuk, “Seperti halnya ini hatiku yang remuk kamu mainkan,” jeritku tak memikirkan persaannya dan orang-orang yang berada di sekelilinhku. ‘Masa bodoh dengan anggapan mereka, hatiku tengah hancur sekarang.’
“Bela, dengar dulu,” teriaknya padaku yang sudah berlalu jauh darinya.
Aku tersenyum mengingat kesalah fahaman yang dulu pernah aku alami. Mungkin aku adalah orang yang paling beruntung mendapatkan seorang yang sesabar Yudi. Bagaimana tidak, berkali-kali aku menyakitinya, membuatnya berjauh hati dan terus saja memaksanya mau mengerti aku, tanpa sedikitpun aku mau mengertinya. Aku pernah menuduhnya berselingkuh padahal ia tidak berselingkuh sampai aku mengucapkan ribuan kata putus untuknya. Tapi, ia tetap saja teguh mempertahankan aku yang jelas-jelas meragukannya sebagai seorang kekasih. Entah apa yang dimilikinya sehingga membuatnya begitu teguh mempertahankanku. Dan entah apa yang aku miliki sehingga membuatnya tertarik untuk terus menggenggamku. Sungguh aku benar-benar tak mengerti misteri apa dalam perjalanan cintaku.
Sampai suatu kali, setelah aku yakin tentang dirinya, tentang cintanya dan semua pengorbanannya. Ia tiba-tiba berubah haluan dan menjauhiku. Aku juga pernah memergokinya bejalan berdua bersama mantan pacarnya yang dulu, tapi waktu itu aku tak menghadangnya, aku hanya mampu menangis dan menenangkan diriku yang terluka seorang diri. Aku benar-benar tak mengerti maksud apa yang ia tuju, dan untuk apa kisah yang dulu. Ia sudah berbeda, sungguh berbeda dan benar-benar berbeda. Yudi tak pernah sekalipun mengacuhkanku, meskipun sesibuk mana ia dengan kegiatannya. Tapi, semua itu dulu bukan untuk sekarang ataupun nanti.
Seperti halnya Bayu yang pergi tanpa sempat aku mengerti, seperti halnya Bayu yang membuatku bahagia juga sedih dan seperti halnya mereka yang tak pernah sanggup ku mengerti haluannya. Ya, keduanya seperti misteri yang tak mampu aku pecahkan. Andai aku tahu rasa sakit itu ada dalam cinta, takkan ku dekati mana-mana cinta yang ada di dunia. Tapi cinta itu pula yang terus saja mengajarkanku arti sebuah kehidupan dan menguatkanku pada rentang yang membentang.
yang mau komen silahkan komen :)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Misteri Cinta"